Blog Grid Light
- Home
- Blog Grid Light

Mathur Husyairi Didikan Mandiri Keluarga Petani
Mathur Husyairi dibesarkan di lingkungan keluarga petani. Tumbuh dari keluarga pedesaan, sejak kanak dia sudah dibiasakan melakukan pekerjaannya sendiri, tujuannya agar dapat menjadi pribadi yang memegang prinsip hidup mandiri.
Keluarga Mathur menyadari di samping didikan dari keluarga, juga perlunya menyekolahkan anak. Mereka meyakini dengan membekali anaknya pendidikan yang mumpuni, kelak anaknya dapat menyiapkan kehidupan lebih maju. Oleh karena itu keluarganya bertekad akan menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Menjelang akhir tahun 1990-an, Mathur Husayiri atau yang akrab disapa Mathur lulus Sekolah Dasar. Dia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanaiyah (MTs) Yayasan Tarbiyah Islamiyah (Yasti), yang terletak di desa tetangga. Jarak antara sekolah MTs dengan rumahnya lebih jauh lagi daripada sekolah MI tempat belajarnya dulu. Jarak antara sekolah dan rumahnya, sekitar 2,5 kilometer.
Selengkapnya
Dari Barat ke Timur Mathur Unduh Ilmu dari Pesantren di Pulau Garam
Jika si Kera Sakti, Sun Go Kong, bersama rombongan teman-temannya, melakukan perjalanan ke barat mencari kitab suci. Berbeda dengan Mathur, meneruskan pengembaraannya menuntut ilmu dengan memulai dari wilayah barat Madura menuju timur Pulau Garam, dari Bangkalan ke Pamekasan.
Setelah menerima restu dari Kiai Bahar, guru yang membimbingnya selama di pesantren al-Nawawiyah di Pakong, Bangkalan. Akhirnya di penghujung tahun 1992, Mathur berpamitan untuk berangkat melanjutkan perjalanan musafirnya menimba ilmu menuju daerah Pamekasan.
Selengkapnya
Seberangi Lautan Menimba Ilmu ke Tanah Moyang
Mathur bukan bocah lagi, kini dia beranjak remaja. Di mata keluarganya, sewajarnya belajar lebih mandiri lagi. Keluarganya mengirim Mathur menimba ilmu ke Madura. Kakek, nenek, ayah, dan ibu sambungnya melepas kepergiannya menuntut ilmu ke tanah moyangnya.
Dia tidak berangkat sendirian. Tapi ditemani kerabatnya, Abdul Qowi yang mengantarkannya ke Desa Dabung, Kecamatan Geger, Bangkalan. Beberapa hari sempat menginap di Desa Geger. Selama di sini, dia sempatkan untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga yang belum pernah bertemu selama ini.
Dengan diantar saudara kakeknya, Mathur melanjutkan berangkat menuju Pesantren al-Nawawiyah asuhan Kiai Bahar (almarhum), yang terletak di desa Pakong, Kecamatan Modung, Bangkalan. Sepeninggal wafat Kiai Bahar, pesantren itu berganti nama Darus al-Shalah al-Nawawiyah.
Kabar yang pernah didengar Mathur sebelum berangkat ke Madura, dia mengetahui bahwa pesantren di Bangkalan ada sekolah SMA atau Aliyah. Oleh karena itu dia membawa barang-barang kelengkapan yang diperkirakan dibutuhkan untuk sekolah tersebut, seperti seragam sekolah SMA, sepatu, dan alat tulis. Perbekalan itu sudah disiapkan sejak di Sambas.
Tapi ternyata orangtuanya mengirim Mathur ke pesantren yang belum menganut sistem pendidikan formal, seperti SMA atau Aliyah. Pesantren ini menerapkan cara belajar salaf. Setelah tahu tempat belajarnya yang sekarang ini tidak seperti harapannya, dia merasa impian yang dibawanya dari Sambas menjadi sia-sia.
Seketika dia seperti merasa impiannya untuk melanjutkan ke sekolah yang diinginkan kandas. Hal yang membuat Mathur enggan masuk pesantren, karena belum siap dengan segala aturan, yang akan membuat dirinya tidak bisa bebas bepergian, dan semuanya harus melalui izin pengasuh pesantren atau pengawas, adalah tradisi lingkungan yang sangat kontras dengan kehidupan sehari-harinya.
Waktu sekolah di kampung, aturan hanya ada di jam masuk sekolah. Selesai jam sekolah bubar, tentu bebas bepergian bermain bersama teman-temannya. Tentu perbedaan itu menjadikan dia enggan masuk pesantren. Hal lain yang utama, karena sistem pembelajarannya model salaf. Situasi yang berbeda sama sekali dengan kurikulum pendidikan yang pernah ditempuhnya.
Namun, walau bagaimanapun tidak ada pilihan baginya kecuali tetap harus melanjutkan belajar di Pesantren Darus al-Shalah al-Nawawiyah. Lagi-lagi Mathur mengalami kejadian serupa pernah terjadi sewaktu di sd beberapa tahun lalu. Di pesanten ini pula, dia harus mengulang tingkat kelas MI. Padahal di Kalimantan Barat, Mathur sudah tamat dari MTs.
Biaya hidup selama nyantri al-Nawawiyah adalah kiriman dari kakeknya di Sambas. Pada waktu itu tahun 1990-an, kirimannya berkisar tiga puluh hingga lima puluh ribu rupiah perbulan.
Pengiriman uang tidak melalui transfer bank.
Waktu itu pengiriman uang dilakukan melalui wesel. Pengambilan atau penarikannya dilakukan secara manual bukan dengan ATM. Melainkan dilakukan di kantor pos. Berbeda sekarang, pengiriman uang biaya pesantren sudah melalui bank atau antar ATM, yang tersedia di sejumlah tempat tertentu.
Mathur yang memiliki latar-belakang pendidikan berbeda dengan para santri lain, dia membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat beradaptasi dengan model belajar di pesantren. Meski demikian, keadaan itu tidak membuat dirinya putus asa.
Sejak tinggal di pesantren dia mulai membiasakan diri memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca buku-buku. Sudah banyak buku karya tokoh-tokoh terkemuka dilahap habis. Kebiasaannya membaca buku membuatnya semakin keranjingan akan ilmu.
Beberapa waktu setelah resmi menyandang status santri, dia terpilih untuk dilibatkan dalam kepengurusan pesantren. Dia menjabat sebagai sekretaris pesantren, selama dua periode. Mathur mulai belajar administrasi dimulai dari lingkungan pesantren.
Tiga tahun telah berlalu berjibaku dengan aturan pesantren. Belajar berbagai mata pelajaran yang ada di sana, bergelut dengan pelajaran yang tidak pernah dikenal di sekolah sebelumnya, SD, MI, atau MTs di Sambas. Tepat pada tahun 1993 akhirnya Mathur berhasil menamatkan pendidikan MTs di Darus al-Shalah al-Nawawiyah.
Tamat sekolah di Darus al-Shalah al-Nawawiyah. Mathur berpamitan Kepada Kiai Bahar, pengasuh pesantren al-Nawawiyah. Dia mengutarakan niatnya meninggalkan pesantren untuk melanjutkan sekolah Aliyah di Pamekasan. Kiai Bahar merestu keinginan Mathur.
(Hasan Muhammad)
Selengkapnya: https://mathur.id/dari-barat-ke-timur-mathur-unduh-ilmu-dari-pesantren-di-pulau-garam/

Pindah Sekolah, Mathur Husyairi Tetap Tinggal Kelas 4
Mathur Husyairi lahir di Sambas, Kalimantan Barat, 04 Juni 1975. Sulung dari dua bersaudara, anak pasangan Pak Husyairi dan Ibu Misra. Adiknya bernama Aisyah, meninggal waktu berumur tiga bulan, sebab kelahirannya yang prematur.
Berselang beberapa bulan kemudian, Bu Misra menyusul kepergian anak perempuannya kembali ke rahmatullah. Ibu Misra meninggal dunia akibat penyakit kuning yang sudah dua tahun dideritanya. Pada waktu itu Mathur masih berumur empat tahun.
Pak Husyairi alias H. Muhsin kelahiran Bangkalan, 1 Mei 1953. Karena untuk kebutuhan ekonomi keluarga dia merantau ke Kalimantan Barat. Di tanah rantau H. Muhsin bekerja sebagai petani, yang merangkap juga sebagai pedagang hewan ternak sapi.
Mathur Husyairi mengawali bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sambas. Di sekolah ini Mathur hanya sampai di bangku kelas 4. Dia pindah ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) 25 Teluk Nangka. Alasan pindah sekolah tak bukan karena jarak sekolah SDN 25 Teluk Nangka lebih dekat dibanding sekolah MI yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah Mathur.
Sebab perpindahannya, dia mesti mengulang belajar di tingkat yang sama, yakni kelas 4. Mathur sapan akrabnya, seharusnya Kelas 5. Tapi ternyata di SD belum serta merta dapat duduk di bangku Kelas 5, melainkan berstatus masa percobaan di tingkat kelas ini. Sebab hasil dari masa percobaan tidak memenuhi nilai menurut ketentuan SD, akhirnya dimasukkan kembali di Kelas 4.
Menjelang akhir tahun 1990-an, Mathur lulus sekolah dasar. Dia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanaiyah (MTs) Yayasan Tarbiyah Islamiyah (Yasti), yang terletak di desa tetangga. Jarak antara sekolah MTs dengan rumahnya lebih jauh lagi daripada sekolah MI tempat belajarnya dulu. Jarak antara sekolah dan rumahnya, sekitar 2,5 kilometer.
(Hasan Muhammad)
Selengkapnya: https://mathur.id/mathur-husyairi-didikan-mandiri-keluarga-petani/

Sapa Santri Penghapal Al-Qur’an, Mathur : Kalian Tidak Boleh Minder
Bangkalan, Menyiapkan regenerasi yang baik tentu membutuhkan waktu yang panjang. Oleh sebab itu, Mathur Husyairi menyapa para santri agar menjadi motivasi bagi para santri.
Hal itu, ia sampaikan ketika melaksanakan Reses I Tahun 2023 di pondok pesantren Madrasatul Qur’an Al-Makkiyah, Desa Burneh, Kab. Bangkalan. Sabtu, (25/03/2023).
“Sebagai santri kalian harus memiliki cita-cita yang tinggi, apalagi adik santri semua dididik menjadi hafidz Qur’an di pondok ini,” kata Mathur.
Iya juga menyampaikan sebagai santri yang berasal dari pelosok desa tidak boleh minder, bahkan kalian harus bangga dengan catatan tidak boleh jumawa.
“Tidak boleh minder, bahkan kalian harus berani. Apalagi perguruan tinggi sudah banyak membuka beasiswa dengan syarat hafal Alquran, jadi harus rajin menghafal dan memahaminya,” ujar Mathur kepada ratusan santri itu.
Sementara itu, Makki Al-Hamid selaku pengasuh pondok pesantren Madrasatul Qur’an Al-Makkiyah menyampaikan kepada seluruh santri untuk banyak-banyak belajar baik dari ilmu agama, sosial bahkan ilmu politik.
Sebagai generasi milenial, tentu saja kalian harus belajar sama beliau ini, sebab sepak terjangnya sampai saat ini merupakan bagian dari perjalanan hidup yang patut kita pelajari.
Makki Al-Hamid mengatakan anggota dewan yang berada didepan kalian ini merupakan anggota dewan yang terlahir dari keluarga petani, santri bahkan juga sebagai aktivis.
“Makanya, kita semua harus belajar sama beliau dan korek ilmunya, ilmu itu akan menuntun kita kemana arah hidup kita ini,” jelasnya.